Minimnya representasi perempuan di dunia arsitektur adalah sebuah isu yang telah hadir sejak lama, dan tetap menjadi perbincangan hingga sekarang. Namun apabila melihat perkembangan karir arsitek yang bergender perempuan di Indonesia 10 tahun kebelakang, sepertinya kita bisa optimis dengan trajektorinya.
Hal ini dapat ditinjau melalui perbandingan partisipasi keikutsertaan biro yang dikepalai perempuan di Indonesian Architects Week (IAW), salah satu pameran Internasional terkurasi yang melibatkan arsitek se-Indonesia.
Pada tahun 2011 terdapat 10 karya yang mewakili karya perempuan, lalu pada tahun 2017 di Seoul meningkat ke 12 karya, hingga pada IAW Rio 2021 terdapat 19 karya arsitektur terpilih yang didesain oleh perempuan. Kenaikan representasi yang hampir 100% semenjak IAW Tokyo 2011 ini menunjukkan adanya pertumbuhan yang signifikan dari jumlah biro arsitektur yang dikepalai perempuan di Indonesia.
Pandemi Coronavirus-19 memberikan dampak yang berbeda di tiap individu dalam lintas kelas ekonomi, sosial, ragam umur, dan juga gender. Profesi arsitek, yang tidak termasuk dalam kategori bisnis esensial memiliki kesempatan istimewa untuk dapat menjalankan bisnisnya secara hibrid ataupun daring sepenuhnya.
Biro arsitektur dapat tetap berjalan dengan sistem kerja yang fleksibel dengan bantuan teknologi, seperti penggunaan cloud-based server, video conferencing, dan penggunaan drone untuk memantau pekerjaan konstruksi lapangan.
Sistem bekerja seperti ini merupakan sebuah kesempatan baik bagi para perempuan untuk memulai dan mengembangkan karirnya dalam profesi ini, khususnya bagi perempuan yang mengemban peran sebagai ibu.
Baca juga, 9 Arsitek dan Desainer Indonesia Sukses di Luar Negeri
Peran sebagai ibu sebelum pandemi dan setelah pandemi terasa sangat berbeda. Ada pilihan untuk dapat berdaya secara maksimal pada saat ini. Pembagian waktu antara pekerjaan di kantor yang dapat dikerjakan dari rumah, pembagian peran domestik, serta peran ibu terutama dalam mendampingi pendidikan anak, terasa dapat lebih mudah dilakukan, tentunya dengan kerjasama yang baik dengan pasangan.
Jika membahas budaya pengasuhan anak, terdapat pola yang berbeda antara satu negara dengan lainnya. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh McKinsey & Company, terjadi penurunan performa dan jumlah pekerja perempuan di Amerika Serikat. Dengan tidak beroperasinya daycare selama pandemi, para ibu dihadapkan dengan sulitnya memenuhi tanggung jawab profesional dan domestik.
Sementara di Indonesia, orang tua memiliki pola penitipan anak yang berbeda karena adanya budaya masyarakat Indonesia yang tinggal tidak jauh dari keluarga dan budaya pengasuh yang tinggal bersama.
Meningkatnya waktu perempuan pekerja berada di rumah meleburkan batas ranah domestik dan publiknya. Semakin hal ini menjadi norma baru, kesempatan perempuan untuk bisa memperjuangkan perannya di dua ranah tersebut semakin terbuka.
Ibu Arsitek sebagai komunitas yang hadir untuk mengangkat isu dan tantangan akan stigma perempuan, kesetaraan gender, serta kesetaraan kesempatan dalam berkarir dan berumah tangga, melihat hal ini sebagai sesuatu yang harus didorong dan diperjuangkan.
Baca juga, Apresiasi Hari Ibu, Simak Cerita Arsitek Mendunia Ini!
Selain meyakini kecintaan terhadap profesi arsitek, setiap acara Ibu Arsitek selalu ditutup dengan pesan akan pentingnya strategi karir yang dimulai dari kehidupan personal, salah satunya adalah memilih pasangan yang dapat mendukung karir sebagai arsitek.
Representasi menjadi sangat penting dalam memperjuangkan kesetaraan perempuan di dunia arsitektur. Walaupun saat ini yang mengalami tantangan terbesar adalah kaum ibu yang bekerja, namun dengan meningkatnya kesempatan para ibu untuk berkarya, diharapkan representasi dalam profesi akan terus meningkat.
Hal ini diharapkan akan menciptakan efek bola salju untuk generasi perempuan selanjutnya, yang baru akan memulai karir atau yang akan membangun keluarga, dengan berbekal optimisme dan semangat bahwa dirinya dapat berdaya untuk keluarganya dan lingkungan yang lebih luas lagi.