Berjalannya hari pada masa pandemi ini, banyak orang terdorong untuk berkontribusi untuk mencegah penyebaran virus semaksimal mungkin. Dengan kurangnya masker bagi para tenaga medis dan tentunya masyarakat yang membutuhkan, banyak orang mencoba untuk membuat masker kain selama di rumah dengan menggunakan kain bandana, scarf, dan lainnya.
Walaupun banyak orang sudah menggunakan dan berinisiatif membuat masker kain, bagi Ashley Lawrence mahasiswa dari Eastern Kentucky University yang tengah belajar deaf and hard of hearing education, ia mengkhawatirkan para tuna rungu yang terdampak berbagai tantangan pada masa pandemi ini termasuk penggunaan masker.
Bagi para tuna rungu membaca gerakan bibir menjadi suatu yang esensial dalam berkomunikasi termasuk American Sign Language yang mengandalkan ekspresi dari muka. Dengan ibunya, Ashley menjait desain maskernya dari seprei dan tambahan plastik transparan sebagai jendela pada mulut. Ia berencana untuk memberikan pola jaitannya agar lebih banyak orang dapat membuat masker transparan ini.
Keprihatinannya pada para tuna rungu tentu menunjukkan dunia kurangnya kesetaraan yang tengah dialami sebagian banyak populasi di dunia termasuk Teman Tuli di Indonesia. Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan American Sign Language masing-masing memiliki struktur yang berbeda.
BISINDO juga mengutamakan komunikasi manual, bahasa tubuh, dan gerak bibir yang tentu dapat terbatasi dengan anjuran penggunaan masker selama mewabahnya COVID-19 di Indonesia.
Di Indonesia masih belum ada masker transparan yang layak digunakan sebagai alternatif dari masker bedah, kain ataupun sekali pakai. Maka dari itu, proyek seperti ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk berupaya yang sama.
Proyek milik Ashley, yang berupaya untuk mendistribusikan masker yang ia jahit secara gratis untuk para tuna rungu, mengingatkan kita untuk tidak melupakan teman-teman kita dengan disabilitas pendengaran yang merupakan sebagian banyak dari populasi kita terutama pada masa yang mengkhawatirkan ini.