-
Mengenal Pandangan Romo Adolf Tentang Jakarta
Indonesia kembali kehilangan tokoh kreatif yang peduli akan presercasi budaya bangsa. Pater Adolf Heuken SJ atau yang biasa dipanggil Romo Adolf meninggalkan beberapa karya yang memberi pengaruh pada dinamika budaya seperti buku Sumber-Sumber Asli Sejarah Jakarta I-III, Menteng, Kota Taman Pertama di Indonesia dan Historical Sites of Jakarta. Dedikasi dan pemikiran Romo Adolf terhadap bangunan di Jakarta telah membawanya menerima sejumlah penghargaan penting dari berbagai pihak, serta menjadi pakar bangunan bersejarah yang membantu Pemerintah DKI Jakarta.
dok. Cipta Loka Caraka
Menghabiskan waktu lebih banyak di Indonesia untuk kepedulian dan pengamatannya terhadap perkembangan Jakarta melebihi warga Indonesia sendiri, menjadikan tokoh ini luar biasa. CASA Indonesia dan arsitek Alwi Sjaaf sempat mendapat kesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif tentang pandangan Romo Adolf mengenai perkembangan kota, khususnya di DKI Jakarta.
Berbicara mengenai Zeitgeist (Bahasa Jerman: semangat zaman - red.) pada abad 21 ini yang sudah berbeda, mengapa menjadi penting untuk mempertahankan Rumah Menteng yang bergaya kolonial?
Setiap kota mengalami sejarahnya, maka di dalam kota ini (Jakarta) dapat dilihat bagaimana kota ini berkembang. Jadi, seharusnya orang bisa melihat Jakarta berkembang mulai dari daerah Kota sampai ke Menteng di kisaran tahun 1910 dan meluas hingga ke Cinere di 1970-an. Kawasan Kota punya gayanya sendiri, Medan Merdeka pun demikian, Menteng serta Kebayoran juga. Bahkan sampai ke BSD dan berbagai kawasan lainnya punya gaya bangunan sendiri. Kalau semua sama, ini membosankan sekali.
Seperti manusia mesti punya daya ingat yang baik, demikian setiap kota yang berbudaya harus mengingat, maksudnya memperlihatkan masa lalunya. Dan bukan hanya dalam lukisan serta foto atau hanya dalam buku sejarah saja. Tetapi, warga kota seharusnya dapat melihat di tempat bagaimana kota itu berkembang. Coba, lihat kota-kota di Eropa, hampir semua mempunyai kota tua (Aldstadt atau towncentre) di pusatnya.
Tidak ada masalah membangun rumah yang sesuai Zeitgeist sekarang di Pondok Indah, Pluit atau BSD, asalkan dibangun secara baik dan tepat. Tiada masalah! Itu yang pertama, yang kedua, Zeitgeist belum pasti baik. Ada Zeitgeist yang jelek. Di dalam sejarah budaya ada ups and downs. Apakah budaya kita sekarang ini tinggi mutunya atau rendah mutunya? Apakah gaya bangunan sekarang bermutu tinggi atau tidak?
Ambil saja gedung-gedung gaya Postmodern: cabut-cabut dari semua gaya, lalu main pasang. Apa ini gaya yang bermutu? Apakah ini memperlihatkan Zeitgeist yang tinggi mutunya? Kita harus waspada, jangan hanya ikut Zeitgeist saja. Bersikaplah kritis terhadap Zeitgeist!
Bagaimana jika tujuan menghilangkan bangunan-bangunan tua, karena tidak mau ada kenangan terhadap zaman penjajahan?
Ini pandangan dangkal. Sejarah ada faktum, kenyataan. Kenapa Jakarta adalah Ibukota? Karena Batavia pernah menjadi pusat VOC (1619-1799) dan Hindia-Belanda (1816-1940). Kenapa Jakarta yang dipilih sebagai Ibukota? Karena Jakarta adalah pusat pemerintah Hindia-Belanda yang akhirnya mencakup seluruh Indonesia. Kalau tidak mau mengakui dan menerimanya, ya buang Jakarta saja. Bakar habis, lalu pindah ke tempat lain.
Singapura juga pernah dijajah, New Delhi dan Colombo juga. Tetapi, bangunan lama di kota-kota itu dipelihara, karena merupakan wajah khas kota tersebut. Kenapa kita mesti menghapus, bangunan masa penjajahan yang merupakan sejarah kita? Tidak mau mengakui fakta is stupid. Masa lalu itu ada, diakui atau tidak.
Romo mempunyai passion sangat besar, dan terus berjuang sampai saat ini. Apakah kita masih punya masa depan untuk mempertahankan budaya dan bangunan bersejarah di Jakarta, atau sebaiknya kita lupakan saja semuanya itu?
Ini masalah berbeda. Pertama, kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Di Jakarta ada 40 universitas, namun satu fakultas sejarah saja. Murid-murid di Jakarta tak pernah mendapat pelajaran sejarah Jakarta. Kurang ada orang yang mau belajar sejarah, karena dianggap lulusan sejarah susah mencari uang.
Banyak orang kurang tertarik membaca buku sejarah. Banyak orang menganggap, mencari pengetahuan demi pengetahuan saja dan bbukan untuk mendapatkan keundungan adalah hal yang bodoh. Belum ada kesadaran, bahwa kita cari tahu demi tahu. Ini satu nilai yang kurang dihargai. Bagaimana kalau semua dinilai menurut untung-rugi? Ini payah.
Bisa dimengerti kalau di sebuah negara atau di sebuah wilayah yang miskin, uang diutamakan. Tapi, Indonesia tidak miskin. Kalau kita bertanya mengapa di Jakarta belum dibangun ini atau itu, alasan biasanya ‘belum ada uang’. Padahal setiap minggu majalah Tempo melaporkan tentang ribuan, jutaan bahkan milyaran rupiah yang hilang. Artinya, uang cukup banyak. Tetapi, terlalu banyak korupsi.
Kalau boleh to the point, apakah kesalahan Pemerintah? Dan juga kami arsitek yang tidak bergerak? Selama ini Romo berjuang mati-matian, bagaimana melihat realita seperti ini?
Saya senang sejarah, baik sejarah budaya, sejarah arsitektur maupun perkembangan. Saya sudah banyak memberi ceramah, menulis karangan di koran dan menerbitkan buku tentang sejarah arsitektur Jakarta. Maybe it’s not enough, but it means something.
Sedih melihat kenyataan, bahwa sampai sekarang masih sangat sulit untuk membangkitkan ketekunan dan keinginan belajar sejarah. Masih banyak orang tidak tahu, karena tidak suka baca dan belajar sejarah. Memang, menekuni sejarah Indonesia sulit, kalau tidak bisa mengerti bahasa Belanda.
Teks oleh; Alwi Sjaaf
Sumber foto: Rici Linde
-