-
Ini Rahasia Rumah Tahan Gempa di Jepang
Peristiwa gempa di Lombok banyak memberikan keresahan bagi masyarakat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat sebanyak 83.392 unit rumah rusak akibat kejadian ini dan proses pembenahan pun sudah mulai dikerjakan.
Balok-balok Nuki yang memperkuat tiang di rumah lonceng Kuil Enryakuji, Kyoto
Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara Jepang memiliki daya tahan yang sangat kuat untuk bencana skala besar. Dengan alam yang begitu indah, peristiwa alamiah skala besar (untuk menggantikan istilah bencana) seperti gempa, tsunami, dan badai sesungguhnya telah lama menjadi risiko yang bisa diterima (acceptable risk) dalam kehidupan di Jepang, bahkan menciptakan karakter khas manusia Jepang yang tabah dan tahan banting. Demikian juga dengan arsitekturnya.
The Rebirth House di Ibaraki, Jepang karya Ryo Matsui
Indonesia perlu banyak belajar dari Jepang, terutama bangunan di kota besar. Namun bukan berarti semua bangunan di Indonesia rentan akan gempa. Mengutip dari Yori Antar, “Rumah Adat Tradisional sangat terbukti kelenturan strukturnya pada saat menghadapi bencana gempa, tapi sangat mudah terbakar akibat bencana alam seperti tersambar petir, keteledoran maupun teknologi modern yang hadir di desa adat seperti korsleting listrik, hp, komputer, dll.”
Gambar potongan Rumah Adat Wae Rebo di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur
M. Ichsan Harja berbagi pengetahuan tentang rumah tahan gempa di Jepang saat sedang berada di Kyoto, Jepang untuk melakukan studi kasus dan pemetaan terhadap Upaya Preservasi Arsitektur Tradisional Jepang dengan beasiswa dari Asian Public Intellectuals (API) Foundation pada tahun 2011.
Sketsa jalan menuju Menara Yasaka di Kyoto, Jepang karya M. Ichsan Harja
Baca juga, profil arsitek Jepang ternama Go Hasegawa: Spesialis Urban Jepang
Banyak penelitian telah dilakukan untuk menemukan kembali ‘rahasia’ ketahanan gempa dari bangunan- bangunan ini. Salah satu contoh paling awal dari adaptasi arsitektur Cina di Jepang terhadap seringnya gempa, adalah modifikasi balok tumpuk (Jepang: to-kyou) di ujung atas tiang.
Dome House di Ishikawa, Jepang yang terbuat dari Styrofoam yang tahan gempa
Meskipun tampak tidak praktis, sambungan ini rupanya jauh lebih fleksibel dibandingkan sambungan langsung balok-tiang yang biasa digunakan dalam bangunan-bangunan kayu modern, yang karena kekakuannya umumnya akan mengalami pecah ujung (end splitting) saat terpelintir waktu gempa. Berkat beratnya, to-kyou ini juga berfungsi mengembalikan posisi tiang yang miring akibat gempa (restorable inclination).
Balok tumpuk bernama to-kyou dalam bahasa Jepang di kuil Horyu-ji, Nara, Jepang
Contoh yang paling mengagumkan dari adaptasi arsitektur Jepang terhadap alam ini bisa dilihat pada bangunan menara kuil yang terbuat seluruhnya dari kayu, dan terkadang bisa memiliki tinggi lebih dari 32 meter. Menara yang tertua, menara kuil Horyu-ji di Nara, berasal dari abad VII M.
Hat House karya Apollo Architects di Shinjuku, Jepang
Kyoto juga memiliki beberapa menara tertinggi di Jepang, seperti menara kuil To-ji dan menara kuil Yasaka, keduanya memiliki tinggi di atas 30 meter. Semua menara ini umumnya menggunakan prinsip konstruksi dan bentuk arsitektur yang sama. Di tengah menara biasanya terdapat satu tiang yang terbuat dari kayu utuh yang ditanam ke tanah atau pondasi batu dan diperkuat dengan rantai.
Menara Hoju-no-to bertingkat lima di kuil Daigo-ji yang dibangun pada abad ke-9 dan bangunan tertua di Kyoto
Baca juga, Desain Rumah Minimalis Ala Jepang yang Sangat Homey
Di sekeliling tiang ini dibangunlah sejumlah tingkat menara yang sebenarnya terlepas satu sama lain (kecuali lantai paling atas), mirip seperti serangkaian cincin longgar yang dipasang pada satu jari. Pada saat gempa, tingkat- tingkat menara ini akan bergeser satu di atas yang lain, dan menahan tiang utama agar tidak bergoyang terlalu jauh (friction mass-damper effect).
Gerbang kuil Todai-ji di Nara dari abad ke-11 dengan kaki tiang kayu yang menopang gerbang kayu terbesar di Jepang
Lantai paling atas, yang tertanam secara kaku dengan tiang utama dan memiliki berat paling besar (karena adanya mahkota menara dari logam), akan berperan melawan arah goyangan (tuned mass-damper effect), mirip seperti air dalam ember yang akan bergerak melawan arah jika digoyang.
Rumah berbentuk kubah di berbagai negara
Secara umum, dalam hal ketahanan gempa, teknologi konstruksi tradisional Jepang bisa dikatakan mengambil pendekatan yang berseberangan dengan arsitektur modern: bukannya melawan gempa dengan memperkuat kekakuan bangunan, bangunan tradisional justru mengandalkan kelenturan sambungan antar bagian bangunan untuk meredam energi gempa, mirip seperti agar-agar yang disentuh jari.
Gerbang kuil Shimigamo di Kyoto dengan susunan balok tumpuk to-kyou di bagian atas tiang
Dalam banyak kasus, pendekatan ini terbukti lebih berhasil; bahkan prinsip-prinsip di atas akhir-akhir ini baru saja diterapkan kembali pada sejumlah bangunan termutakhir.
Rumah di Shinyoshida karya Shinsuke Fujii memiliki fasad yang miring; di dalamnya terdapat lemari buku setinggi rumah
Prinsip dasar konstruksi rumah Jepang adalah penggunaan material kayu dan memiliki kekuatan tarik, meredam dampak gempa bumi, sistem bongkar pasang (knock down), pengerjaan yg lebih presisi dengan perencanaan di pabrikasi, serta perencanaan menggunakan prinsip modul, panjang modul 91 – 100 m.
Potongan rumah The Rebirth House di Ibaraki, Jepang karya Ryo Matsui
Baca juga, itinerary ke Jepang bagi Anda yang ingin melihat Sakura
Salah satu rumah tahan gempa di Jepang yang didirikan di tahun 2016 yaitu Hat House karya Apollo Architects. Rumah ini memiliki struktur berbentuk kubus dengan dinding beton bertulang tebal serta atap berbingkai kayu yang lebih tradisional.
Hat House karya Apollo Architects di Shinjuku, Jepang
Shinsuke Fujii juga merancang sebuah rumah yang siap menghadapi gempa. Di rumah ini, ia merancang rak buku yang menjulang penuh dari lantai hingga ceiling. Tampak dari fasad rumah pun, rak buku ini dirancang miring, sehingga goncangan dari bencana alam tidak akan merubuhkan seisi rumah.
Lemari buku yang dirancang miring di rumah karya Shinsuke Fujii
Sedikit membahas tentang sejarah di tempo dulu . Rumah-rumah Jepang di era prasejarah (dikenal dengan era Jomon dan Yayoi) hingga abad ke-2 SM umumnya berupa bangunan sederhana, dengan lantai dan dinding dari tanah liat serta beratap jerami, yang teradaptasi dengan baik terhadap peristiwa alam seperti gempa dan taifun.
Potongan rumah Hat House karya Apollo Architects di Shinjuku, Jepang
Hanya setelah mereka mengenal tata cara penanaman padi dari Cina-lah, bangunan-bangunan monumental untuk kepentingan komunitas dan agama mulai dibangun. Baru pada abad VIII, arsitektur monumental di Jepang mulai melakukan adaptasi terhadap kondisi alam. Sejumlah kuil Buddha yang terletak di hutan pinggiran kota, mengatur tata letak serta menyesuaikan bentuk dan ukuran bangunannya agar sesuai dengan lokasi yang bergunung-gunung.
Prinsip rumah Jepang yang tahan gempa
Beberapa contoh misalnya Museum de Young (2005) di San Francisco - California (karya perancang Stadion ‘Sarang Burung’ di Beijing, Herzog & de Meuron), yang menerapkan prinsip base isolation. Prinsip tuned mass-damper digunakan oleh bangunan landmark Burj Al-Arab (1999) di Dubai, serta Taipei 101 yang merupakan bangunan tertinggi di dunia (2004) sebelum dibangunnya Menara Burj Al-Khalifa (2010) di Dubai.
Prinsip rumah Jepang yang tahan gempa
Hebatnya, prinsip-prinsip ini sebenarnya telah lama ditemukan para pendeta Buddha dan Shinto di Jepang pada abad VII - XI M, hanya melalui intuisi dan perenungan terhadap alam.
Teks oleh M. Ichsan Harja dan Raisa B. Ranti
Sumber foto: M. Ichsan Harja, bmsaccrington.com, Masao Nishikawa / Dezeen, Shinsuke Fujii/PA, safestronghome.com, goodshomedesign.com, quora.com, Nikken Sekkei Ltd, Yori Antar, Ryo Matsui / Dezeen
-