Pertama kali diaplikasikan pada awal 1849 oleh Richard Steiff, secondary skin atau lapisan kedua awalnya hanya berupa lapisan transparan yang digunakan rumah untuk mereduksi panas.
Baca juga: 7 Contoh Rumah Minimalis yang Mudah Anda Tiru
Berkat implementasinya yang berhasil, para arsitek mulai mengikuti jejak Steiff dan mengaplikasikan secondary skin pada proyek-proyek mereka.
Setelahnya penggunaan secondary skin mulai diperluas, di era modern ini, secondary skin merupakan elemen versatile yang membuat hunian tampil indah dan semakin nyaman ditinggali.
Baca juga: Trik Khusus! 30 Partisi Rumah Minimalis Kecil Jadi Luas
Secondary skin paling jamak digunakan untuk menyiasati tingginya paparan sinar matahari akibat bukaan yang lebar pada fasad hunian. Ketika panas matahari berkurang berkat secondary skin, furnitur rumah juga tidak mudah rusak.
Secondary skin juga dapat menurunkan suhu ruangan dan memperlancar sirkulasi udara di dalam rumah. Tidak hanya itu, motif secondary skin yang beragam juga memberi tampilan ‘unik’ pada fasad hunian, mulai dari bentuk persegi hingga geometri lain.
Perbedaan iklim pun tetap membuat secondary skin relevan. Di negara tropis seperti Indonesia, bambu atau kayu lainnya menjadi material yang tepat guna karena bisa memberikan kesan dingin pada rumah.
Secondary skin sebenarnya bisa digunakan pada hunian apa saja. Namun untuk fungsi maksimal, secondary skin bisa diaplikasikan untuk hunian yang menghadap ke barat.
Secondary skin juga bisa dibuat dengan bermacam bentuk, misalnya kayu bisa disusun secara vertikal atau horizontal, laser cutting dengan bentuk geometri atau bentuk dedaunan untuk kesan modern, batu bata unfinish untuk kesan lebih industrial.
Secondary skin dapat memberikan manfaat bagi rumah seperti mereduksi paparan sinar matahari, cocok dengan segala konsep rumah, serta mempercantik eksterior rumah dengan berbagai motif menarik ketika cahaya masuk ke dalam celahnya.