Arsitek asal Indonesia kian mengharumkan nama bangsa di kancah arsitektur internasional.
Tepat pada tanggal 25 April 2019, Aga Khan Award 2019 mengumumkan dua puluh finalis akhir dan dua di antaranya merupakan karya arsitek Indonesia.
Berbeda dari kompetisi desain lainnya, Aga Khan Award lebih fokus terhadap proyek desain yang berlokasi di wilayah dengan kehadiran komunitas Muslim secara signifikan di daerah tersebut. Beberapa karya terpilih menganut nilai seperti, mengusung pendekatan desain secara kontemporer, berkaitan dengan social housing, preservasi bangunan bersejarah, proyek pengembangan komunitas, serta desain lansekap.
Seluruh finalis akan bersaing untuk meraih hadiah senilai US$ 1 juta usai diinspeksi lebih mendalam oleh para Master Jury. Beberapa juri yang ikut serta di antaranya adalah Sir David Chipperfield, Elizabeth Diller, Anthony Kwamé Appiah, dan masih banyak lagi.
Jadi, karya apa sajakah yang berhasil menarik perhatian para juri Aga Khan Award 2019? Ini dia jawabannya.
Perpustakaan ini merupakan proyek prototipe yang diusung oleh Suryawinata Heinzelmann Architecture and Urbanism (SHAU) guna menggiatkan kegiatan membaca buku serta pengajaran ilmu di kalangan warga lokal. Proyek ini berlokasi di Taman Bima, Bandung, Jawa Barat yang dahulunya dihiasi sebuah panggung sederhana yang kerap dijadikan pusat berkumpul dan berkegiatan bagi warga setempat.
Duo arsitek Daliana Suryawinata dan Florian Heinzelmann yang menggawangi SHAU Architects lebih ingin memberi nilai tambah kepada existing site ketimbang membangun sesuatu yang berbeda. Maka dari itu, panggung yang menjadi jantung kegiatan di taman ini disulap menjadi perpustakaan. Panggung sederhana yang sebelumnya terbuka kini ditambah dengan sebuah kotak di bagian atasnya dengan menerapkan I-Beam serta slab beton pada lantai serta atap.
Dalam perancangan perpustakaan yang seolah melayang di udara ini, kedua arsitek ingin menggunakan bahan yang hemat energi serta biaya yang efisien. Oleh karena itu, 2.000 wadah es krim bekas berwarna putih yang terbuat dari plastik hadir sebagai komponen utama fasad yang berhasil meleburkan inside dan outside melalui permukaan yang cukup transparan.
Akibatnya ruang dalam perpustakaan dibanjiri pencahayaan alami saat anak-anak bertandang ke perpustakaan sambil membaca beragam koleksi buku di sini. Tak hanya itu saja, perpustakaan seolah berpendar terang saat mengunjungi Taman Bima di malam hari.
SHAU Architects didirikan pada tahun 2009 dengan visi menciptakan karya arsitektural yang mampu menghantarkan solusi desain dengan mempertimbangkan faktor lingkungan serta sosial dalam proses desainnya.
Pada awal berdirinya, biro arsitek ini dimulai dengan kehadiran dua kantor independen yang terletak di Rotterdam, Belanda dan Munich, Jerman.
Tak hanya Dahliana dan Florian saja, biro ini turut digawangi oleh Tobias Hoffmann yang lebih fokus menggarap studio milik SHAU di Munich. Setelah tiga tahun berjalan, SHAU memutuskan untuk melebarkan sayapnya dengan menghadirkan kantor di Jakarta dan kini telah berdomisili di Bandung, Jawa Barat.
Beragam jenjang pendidikan serta pengalaman karir bertaraf internasional telah dijalani ketiga arsitek sebelum merintis karir bersama di SHAU Architects.
Baca juga, SHAU Architects Menjadi Finalis Dezeen Awards 2018
Daliana sebagai satu-satunya wanita di antara para founder SHAU ini merupakan lulusan Berlage Institute, Rotterdam, Belanda yang telah mengecap pengalaman di biro arsitek terkemuka seperti Andra Matin, Han Awal and Partners, Office for Metropolitan Architecture (OMA), serta kerja lepas di MVRDV serta West8.
Begitu pula dengan partnernya untuk kantor SHAU di Belanda dan Indonesia, yaitu Florian yang dahulu mengemban pendidikan di program Arsitektur di Munich University of Applied Science, Jerman yang kemudian meniti karir di UNStudio dan kini tetap aktif pula sebagai akademisi.
Hunian ini merupakan kediaman pribadi arsitek Andra Matin dengan luas 378 meter persegi yang meleburkan luar dan dalam dalam perancangannya. Dengan demikian, para penghuni rumah dapat menikmati dan berinteraksi lebih dekat dengan lingkungan yang terlihat dari lansekap hijau yang mengeliling rumah ini. Arsitek ingin menyuntikkan suasana keluarga yang hangat melalui komposisi program ruang yang secara sederhana dan lembut menyatukan tiap fungsi yang hadir di hunian.
Terinpirasi dari konsep rumah panggung yang kerap muncul dalam arsitektur vernakular Nusantara, bangunan rumah seolah sebuah massa yang terangkat dari atas dataran tanah. Usai menelusuri ramp yang menjadi akses utama, tampaklah ruang komunal berkonsep terbuka yang diisi dengan sebuah meja panjang terbuat dari kayu serta ruang persiapan. Tak hanya itu saja, kolam renang serta vertical garden kian menegaskan suasana sejuk serta segar yang memanjakan visual penghuni rumah. Kamar tidur diposisikan di lantai dua dengan akses serupa yaitu melalui ramp.
.
Keseluruhan bangunan merepresentasikan kesan natural dengan mengaplikasikan beton ekspos dan ramah lingkungan melalui penggunaan kembali kayu ulin yang pernah digunakan di dermaga. Bangunan memiliki bukaan jendela dan dinding yang sederhana namun fungsional yang membantu meleburkan konsep interior dan eksterior pada hunian.
Arsitek Andra Matin identik dengan karya arsitektur bergaya clean serta modern sembari merefleksi dan peka terhadap lingkungan sekitarnya.
Melalui karya serta halaman sosial media milik arsitek ini, Anda dapat menyaksikan sensitivitas ia dalam menerjemahkan makna komposisi secara gamblang maupun kasat mata.
Mendirikan bironya sejak 1998, berbagai proyek desain pernah digawangi oleh arsitek yang kerap dipanggil dengan nama Mas Aang, yaitu seperti residensial, hospitality, kantor, museum, hingga karya instalasi, dan masih banyak lagi.
Baca juga, Bertualang dan Tidur di Hutan Palem
Selain meraih beragam penghargaan bersama karya yang ia ciptakan, Andra Matin turut menoreh prestasi melalui karya instalasi bertajuk Elevation yang meraih special mention di Venice Architecture Biennale 2018.